Membangun Data Culture: Menjadikan Data Bagian dari Setiap Keputusan

shape
shape
shape
shape
shape
shape
shape
shape

Pendahuluan

Di era digital yang terus berkembang, data telah menjadi aset paling berharga bagi setiap organisasi. Namun, memiliki data dalam jumlah besar tidak cukup. Tantangan yang sesungguhnya terletak pada kemampuan organisasi untuk mengubah data menjadi wawasan yang actionable dan menjadikan data sebagai fondasi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Inilah inti dari apa yang disebut dengan data culture—sebuah budaya organisasi yang memposisikan data sebagai bagian integral dari cara kerja, berpikir, dan berinovasi.

Data culture bukan sekadar tentang mengadopsi teknologi analitik terkini atau merekrut data scientist berbakat. Lebih dari itu, ini tentang menciptakan ekosistem organisasi di mana setiap anggota, dari level manajemen hingga frontline staff, memahami nilai data dan menggunakannya sebagai kompas dalam mengambil keputusan. Menurut laporan dari New Vantage Partners, 98% eksekutif menginginkan budaya berbasis data, namun hanya 32% yang berhasil menjalankannya. Angka ini mencerminkan kesenjangan antara aspirasi dan realitas dalam membangun data culture.

Artikel ini akan mengeksplorasi secara mendalam tentang data culture—mulai dari pengertian fundamental, manfaat strategis, tantangan implementasi, hingga strategi praktis untuk membangun dan mempertahankan data culture yang kuat dalam organisasi Anda.

Pengertian Data Culture

Data culture atau budaya data adalah bentuk budaya organisasi yang mendasarkan pengambilan keputusan selalu berorientasi dan berbasis pada data (data-driven decision making). Dalam konteks organisasi modern, data culture mengacu pada pola pikir kolektif, nilai-nilai, dan kebiasaan kerja yang mengutamakan penggunaan data sebagai alat utama dalam memahami masalah, mengevaluasi solusi, dan memprediksi tren bisnis.

Secara lebih luas, data culture menciptakan lingkungan di mana:

  1. Data dipandang sebagai aset strategis, bukan hanya sebagai informasi teknis
  2. Setiap keputusan didukung oleh analisis data, bukan sekadar intuisi atau pengalaman masa lalu
  3. Akses ke data demokratis, tersedia untuk semua level organisasi yang membutuhkannya
  4. Literasi data diprioritaskan, dengan karyawan memiliki kemampuan untuk membaca dan memahami data
  5. Eksperimen dan pembelajaran berkelanjutan didorong, dengan organisasi siap untuk menguji hipotesis baru berdasarkan data

Perbedaan mendasar antara organisasi dengan data culture yang kuat dan yang lemah terletak pada cara mereka merespons pertanyaan bisnis. Organisasi dengan data culture yang kuat akan segera bertanya "Apa yang dikatakan data?" sementara organisasi lain mungkin terlebih dahulu mengandalkan opini atau pengalaman pribadi.

Komponen Utama Data Culture

Data culture yang sehat dibangun atas beberapa komponen utama:

Kepemimpinan Berbasis Data (Data-Driven Leadership): Pemimpin harus menjadi teladan dalam menggunakan data untuk mengambil keputusan. Ketika eksekutif menunjukkan komitmen terhadap pendekatan berbasis data, hal ini mengirimkan sinyal kuat kepada seluruh organisasi bahwa ini bukan sekadar tren, melainkan nilai inti perusahaan.

Literasi Data Generalis: Tidak semua orang perlu menjadi data scientist, tetapi semua orang harus memiliki kemampuan dasar untuk membaca, memahami, dan berkomunikasi menggunakan data. Menurut Gartner, literasi data adalah kemampuan untuk membaca, menulis, dan mengomunikasikan data sesuai konteks, termasuk memahami sumber dan konstruksi data serta metode analitik yang diterapkan.

Infrastruktur dan Teknologi yang Mendukung: Organisasi memerlukan sistem dan tools yang memudahkan akses data, visualisasi data, dan analitik. Ini termasuk data warehouse, dashboard interaktif, dan platform analitik yang user-friendly.

Proses dan Governance: Data culture memerlukan kerangka kerja yang jelas untuk pengelolaan data, termasuk standar kualitas data, kebijakan akses, dan prosedur untuk memastikan data accuracy dan security.

Kolaborasi Lintas Departemen: Data culture tumbuh ketika departemen bekerja bersama, berbagi insights, dan menggunakan data untuk tujuan bersama, bukan tujuan departementalnya saja.

Manfaat Membangun Data Culture

Organisasi yang berhasil membangun data culture yang kuat merasakan berbagai manfaat strategis yang signifikan.

Pengambilan Keputusan yang Lebih Baik dan Cepat

Studi dari McAfee et al. (2012) menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan strategi berbasis data mengalami peningkatan produktivitas sebesar 5–6% dibandingkan pesaing mereka. Ketika keputusan didasarkan pada data konkret daripada asumsi, akurasi dan kecepatan pengambilan keputusan meningkat drastis.

Dengan data-driven decision making, manajer tidak perlu membuang waktu berharga untuk berdebat tentang opini atau persepsi. Data memberikan bahasa objektif yang memfasilitasi diskusi yang lebih produktif dan menghasilkan keputusan yang lebih tepat sasaran.

Peningkatan Efisiensi Operasional

Data memungkinkan organisasi untuk mengidentifikasi bottleneck, mengoptimalkan alur kerja, dan mengurangi pemborosan. Dengan insights yang diperoleh dari analitik operasional, perusahaan dapat merancang ulang proses, mengurangi waktu siklus, dan meningkatkan output dengan menggunakan sumber daya yang sama atau bahkan lebih sedikit.

Sebagai contoh, Netflix menggunakan data analytics secara ekstensif untuk mengoptimalkan infrastruktur CDN-nya (Content Delivery Network), mengurangi buffering, dan pada saat yang sama mengoptimalkan biaya operasional. Perusahaan ini juga menggunakan data untuk memahami pola tontonan pengguna, yang memungkinkan mereka mengalokasikan sumber daya produksi konten dengan lebih efisien.

Inovasi yang Terukur

Data culture mendorong inovasi yang didukung oleh bukti, bukan sekadar tebakan. Organisasi dapat menjalankan eksperimen terkontrol, mengukur hasilnya dengan objektif, dan melakukan iterasi dengan cepat. Ini menciptakan siklus inovasi yang lebih produktif di mana ide-ide terbaik berkembang dan yang tidak efektif dapat dihentikan dengan cepat.

Peningkatan Kepuasan Pelanggan

Dengan memahami data perilaku pelanggan, preferensi mereka, dan pain points, organisasi dapat memberikan pengalaman yang lebih personal dan relevan. Spotify, misalnya, menggunakan data analytics untuk menciptakan playlist yang dipersonalisasi berdasarkan preferensi musik pengguna, meningkatkan engagement dan kepuasan pelanggan.

Competitive Advantage yang Berkelanjutan

Penelitian dari Deloitte (2020) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki data culture yang kuat memiliki competitive advantages yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Organisasi yang lebih gesit dalam menggunakan data untuk memahami perubahan pasar dapat beradaptasi lebih cepat dan tetap relevan di tengah persaingan yang ketat.

Mengurangi Bias dan Meningkatkan Objektivitas

Keputusan berbasis data membantu organisasi menghindari subjektivitas dan bias pribadi yang sering menyertai keputusan intuitif. Dalam konteks HR, misalnya, data-driven evaluation dapat memastikan bahwa penilaian kinerja karyawan lebih fair dan terukur berdasarkan faktual performance, bukan persepsi emosional atau hubungan pribadi.

Tantangan dalam Membangun Data Culture

Meskipun manfaatnya jelas, perjalanan menuju data culture yang kuat penuh dengan tantangan yang kompleks.

Resistansi terhadap Perubahan

Salah satu tantangan terbesar adalah resistansi dari karyawan yang terbiasa dengan cara kerja konvensional. Banyak orang merasa data dan analitik "menggugat" keputusan atau pendekatan lama mereka, yang dapat memicu defense mechanism atau perlawanan aktif terhadap adopsi data-driven approach.

Menurut penelitian, organisasi yang melakukan transformasi digital sering menghadapi hambatan budaya yang lebih signifikan daripada hambatan teknis. Karyawan mungkin khawatir bahwa otomasi berbasis data akan menggantikan pekerjaan mereka, atau mereka tidak percaya bahwa data akan memberikan keputusan yang lebih baik daripada pengalaman mereka.

Kurangnya Literasi Data di Seluruh Organisasi

Salah satu tantangan paling mendasar adalah minimnya kemampuan karyawan dalam membaca dan memahami data. Banyak organisasi menemukan bahwa hanya segelintir orang saja yang memiliki skills untuk menginterpretasi data dengan benar. Karyawan lain merasa intimidated atau confused dengan angka-angka dan konsep analitik, sehingga mereka tidak confident dalam menggunakan data untuk keputusan mereka.

Tantangan ini diperumit oleh fakta bahwa data literacy tidak hanya mencakup skills teknis, tetapi juga critical thinking, understanding context, dan kemampuan untuk menghindari misinterpretasi data.

Data Silos dan Fragmentasi

Di banyak organisasi, data terdistribusi di berbagai sistem dan departemen yang terpisah. Tim marketing memiliki data mereka sendiri, tim sales memiliki data mereka, IT memiliki data infrastruktur, dan seterusnya. Fragmentasi ini menciptakan "data silos" yang menghambat analitik holistik dan kolaborasi lintas departemen.

Mengatasi data silos memerlukan investasi signifikan dalam infrastruktur data dan governance framework yang robust.

Kepemimpinan yang Belum Data-Driven

Jika pemimpin puncak organisasi tidak percaya pada kekuatan data atau tidak menggunakannya dalam pengambilan keputusan mereka, sulit bagi organisasi untuk mengembangkan data culture. Budaya dibentuk dari atas, dan ketika leadership tidak memberikan teladan, pesan yang tersampaikan adalah bahwa data itu optional, bukan essential.

Kompleksitas dan Kualitas Data yang Buruk

Data yang tidak akurat, tidak lengkap, atau sulit diakses adalah obstacle besar. Karyawan akan kehilangan kepercayaan pada data jika mereka menemukan inkonsistensi atau error. Ini menghasilkan skeptisisme dan kembali ke pengambilan keputusan berbasis intuisi.

Biaya Implementasi yang Tinggi

Membangun infrastruktur data yang robust, merekrut talent yang terampil, dan menjalankan program pelatihan memerlukan investasi finansial yang signifikan. Untuk organisasi kecil atau menengah, ini bisa menjadi barrier yang sulit diatasi.

Kurangnya Pemahaman tentang ROI Data Culture

Banyak organisasi kesulitan mengukur return on investment (ROI) dari inisiatif data culture. Karena benefits-nya sering bersifat jangka panjang dan sulit untuk diisolasi dari faktor lain, kesulitan ini dapat menyebabkan leadership kehilangan komitmen atau pendanaan untuk inisiatif data culture.

Strategi Praktis Membangun Data Culture

Mengingat tantangan yang ada, membangun data culture memerlukan pendekatan yang strategic dan systematic.

1. Tetapkan Visi dan Misi Data yang Jelas

Organisasi harus memulai dengan mendefinisikan visi dan misi data yang selarang dengan tujuan bisnis utama. Visi ini harus menjelaskan peran data dalam strategi jangka panjang dan bagaimana data akan digunakan untuk mencapai tujuan organisasi.

Misi data membantu karyawan memahami bagaimana mereka secara personal dapat memanfaatkan data dalam pekerjaan sehari-hari mereka. Dengan direction yang jelas, setiap tim dan individu akan lebih termotivasi untuk mengadopsi pendekatan berbasis data.

2. Kepemimpinan Berbasis Data dari Atas

Pemimpin eksekutif harus menjadi champion data culture. Ini berarti:

  • Menggunakan data dalam presentasi dan diskusi strategis mereka, menunjukkan bahwa mereka percaya pada value data
  • Menanyakan "Apa yang dikatakan data?" dalam setiap meeting penting, memaksa organisasi untuk berpikir berbasis data
  • Mengalokasikan budget untuk inisiatif data, menunjukkan komitmen finansial
  • Merayakan dan menghargai keputusan berbasis data, bahkan jika hasilnya tidak selalu sempurna

3. Investasi dalam Program Literasi Data

Organisasi harus menjalankan program pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan untuk meningkatkan literasi data di seluruh organisasi. Program ini harus:

  • Disesuaikan dengan role dan level berbeda, tidak semua orang memerlukan level keahlian yang sama
  • Mencakup tools practical dan real-world examples, bukan hanya teori abstract
  • Menggunakan blended learning approach, menggabungkan classroom training, online courses, dan on-the-job coaching
  • Melibatkan mentors internal yang dapat memberikan guidance berkelanjutan

Menurut IBM, 79% organisasi menyatakan bahwa pada dua belas bulan ke depan, data akan menjadi semakin penting untuk pembuatan keputusan organisasi. Investasi dalam literasi data adalah investasi dalam future readiness organisasi.

4. Bangun Infrastruktur Data yang Kokoh dan Mudah Diakses

Karyawan tidak dapat membuat keputusan berbasis data jika mereka tidak memiliki akses mudah ke data. Organisasi perlu:

  • Mengimplementasikan single source of truth — satu repository terpusat di mana data bersifat consistent dan authoritative
  • Membuat dashboard dan reporting tools yang user-friendly, sehingga karyawan non-teknis dapat mengakses insights tanpa bantuan IT
  • Memastikan data security dan privacy, sehingga karyawan dapat percaya bahwa data mereka aman
  • Mengintegrasikan sistem, menghilangkan data silos dan memungkinkan view holistik

5. Demokratisasi Akses Data

Data culture memerlukan bahwa data bukanlah eksklusivitas dari departemen IT atau data team. Sebaliknya, data harus dapat diakses oleh semua yang membutuhkannya, dengan level akses yang sesuai dengan role mereka.

Ini mencakup:

  • Self-service analytics tools, memungkinkan karyawan untuk membuat queries dan visualisasi sendiri tanpa menunggu data team
  • Clear data dictionary dan documentation, sehingga orang dapat memahami apa yang dimaksud setiap field dan metric
  • Training on tools, memastikan bahwa semua orang tahu bagaimana menggunakan tool yang tersedia

6. Dorong Kolaborasi Lintas Departemen

Data culture diperkuat ketika departemen bekerja bersama menggunakan data untuk tujuan bersama:

  • Buat cross-functional teams yang focus pada specific business questions atau initiatives
  • Dorong knowledge sharing tentang insights dan lessons learned
  • Gunakan data dalam all-hands meetings untuk menunjukkan progress terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan

7. Rayakan Wins dan Belajar dari Failures

Organisasi harus secara aktif merayakan dan membagikan success stories tentang bagaimana data-driven decisions menghasilkan outcomes yang positif. Ini membangun momentum dan menginspirasi orang lain untuk mengadopsi pendekatan yang sama.

Pada saat yang sama, organisasi harus menciptakan "safe environment" di mana orang dapat bereksperimen dengan data dan belajar dari failures. Jika setiap error dipungut sebagai kesalahan pribadi, orang akan menjadi risk-averse dan tidak akan mencoba pendekatan baru.

8. Ukur dan Monitor Progress

Organisasi harus menetapkan KPIs yang jelas untuk mengukur success dari data culture initiatives. Beberapa KPIs yang relevan:

  • Percentage of decisions made using data analysis
  • Number of employees trained in data literacy
  • Improvements in data quality and accuracy
  • Speed of decision-making
  • Employee engagement dengan data tools
  • ROI dari data-driven initiatives

Regular monitoring dan reporting tentang progress ini membantu mempertahankan momentum dan mengidentifikasi area yang perlu improvement.

Studi Kasus: Netflix dan Spotify

Dua perusahaan yang outstanding dalam menerapkan data culture adalah Netflix dan Spotify.

Netflix

Netflix memposisikan data sebagai pusat dari semua keputusan strategis mereka. Dari rekomendasi konten, waktu peluncuran series, hingga keputusan tentang konten original mana yang akan diproduksi — semuanya didasarkan pada analisis mendalam terhadap data viewer behavior.

Menggunakan machine learning dan big data analytics, Netflix dapat:

  • Mempersonalisasi rekomendasi konten untuk setiap pengguna berdasarkan viewing history dan preferences
  • Memprediksi kesuksesan konten sebelum diluncurkan secara luas
  • Mengoptimalkan infrastruktur teknis untuk mengurangi buffering dan meningkatkan user experience
  • Membuat keputusan tentang content production berdasarkan trend penonton global

Pendekatan data-driven ini telah memposisikan Netflix sebagai leader dalam industry streaming.

Spotify

Spotify menggunakan data untuk memahami preferensi musik pengguna dengan detail yang luar biasa:

  • Personalized playlists dibuat berdasarkan listening history dan patterns
  • Recommendations disugesti berdasarkan collaborative filtering dan content-based algorithms
  • Artist promotion didasarkan pada data tentang mana artist yang trending
  • Feature development diprioritaskan berdasarkan user behavior dan feedback data

Kedua perusahaan ini menunjukkan bahwa data culture bukan hanya tentang memiliki tools canggih, tetapi tentang mindset yang fundamental: percaya bahwa data dapat membimbing keputusan lebih baik daripada intuisi semata.

Tren Data Culture di 2025

Seiring evolusi landscape bisnis, data culture juga terus berkembang.

Data Literacy Menjadi Prioritas

Menurut Gartner, data literacy dan citizen analysts akan menjadi trend dominan di 2025. Citizen analysts adalah non-technical professionals yang menggunakan tools seperti Power BI, Qlik, atau Looker untuk generate insights sendiri. Ini mencerminkan pergeseran dari data yang eksklusif untuk data experts menuju data yang "spoken" sebagai bahasa bisnis sehari-hari.

AI-Integrated Data Insights

Augmented analytics — penggunaan AI dan machine learning untuk mengotomatiskan insight generation — akan semakin widespread. Alih-alih data analysts secara manual mengeksplorasi data, AI systems akan automatically suggest insights, identify anomalies, dan generate natural language explanations.

Menurut Gartner, mayoritas business insights di large enterprises akan diciptakan atau direkomendasikan oleh AI systems pada akhir 2025.

Data Products dan Product Thinking

Ada shift dari viewing data sebagai byproduct menuju viewing data sebagai product. Tim data akan increasingly "own" dan "sell" data products mereka kepada stakeholder internal, dengan quality standards dan service level agreements yang jelas.

Emphasis pada Data Ethics dan Privacy

Dengan meningkatnya regulation seperti GDPR dan lokal privacy laws, data culture akan increasingly harus mempertimbangkan ethical implications dari data usage. Organizations akan perlu balancing antara leveraging data untuk competitive advantage dengan protecting individual privacy dan maintaining ethical standards.

Decentralized Data Architectures

Data mesh dan federated analytics akan gain traction, moving away dari centralized data warehouses. Ini memungkinkan departments untuk memiliki ownership atas data mereka sambil maintaining governance standards dan memfasilitasi sharing across organization.

Mengukur Sukses Data Culture

Mengukur success dari data culture initiatives sangat penting untuk maintaining momentum dan justifying continued investment.

Quantitative Metrics

  • Adoption rate: Percentage of employees actively using data tools dan analytics
  • Decision velocity: Time taken from identifying a business question to making a decision
  • Data-driven decision percentage: What percentage of key decisions are made berdasarkan data analysis
  • Data quality scores: Metrics tentang accuracy, completeness, dan timeliness of data
  • Cost reductions: Savings achieved melalui data-driven process improvements
  • Revenue growth: Revenue impact dari data-driven initiatives

Qualitative Indicators

  • Employee feedback: Surveys dan interviews tentang perception karyawan terhadap value of data
  • Quality of questions: Whether teams are asking more sophisticated dan strategic questions about data
  • Collaboration: Level of cross-departmental collaboration menggunakan data
  • Innovation: Number dan quality of new ideas yang emerge dari data insights

ROI Calculation

Basic formula untuk culture ROI adalah:

[(Gains from Investment - Cost of Investment) / Cost of Investment]

Namun, challenge terletak pada accurately attributing gains kepada cultural initiatives. Sophisticated analysis yang mengontrol untuk variables lain dan establishes clear cause-and-effect relationships diperlukan.

Kesimpulan

Membangun data culture adalah perjalanan, bukan destinasi. Ini memerlukan komitmen jangka panjang, investasi berkelanjutan, dan perubahan mindset di seluruh organisasi. Tantangan yang ada — resistansi terhadap perubahan, literasi data yang rendah, data silos, dan lack of leadership buy-in — bukan insurmountable obstacles, tetapi challenges yang dapat diatasi dengan strategi yang tepat.

Organisasi yang berhasil membangun data culture yang kuat akan merasakan manfaat yang significant: keputusan yang lebih baik, operasi yang lebih efisien, inovasi yang terukur, dan competitive advantage yang berkelanjutan. Dalam dunia bisnis modern yang increasingly complex dan uncertain, kemampuan untuk memanfaatkan data sebagai compass dalam pengambilan keputusan bukan lagi luxury — it's a necessity.

Seperti yang dituturkan oleh Peter Drucker, "Culture eats strategy for breakfast." Dalam era data-driven ini, kami dapat menambahkan: "Data literacy enables the culture that executes the strategy." Organisasi yang berhasil menanamkan data culture akan lebih tangguh menghadapi ketidakpastian, lebih responsif terhadap perubahan pasar, dan tentu saja, lebih unggul dalam menghadapi disrupsi digital.


Referensi

  1. Telkom University. "Data-Driven Culture untuk Membangun Organisasi Berbasis Bukti, Bukan Intuisi." https://bds-sby.telkomuniversity.ac.id/data-driven-culture-untuk-membangun-organisasi-berbasis-bukti-bukan-intuisi/

  2. MyRobin. "Pahami 5 Tahap Data-Driven Decision Making dan Implementasinya." https://myrobin.id/en/untuk-bisnis/data-driven-decision-making/

  3. Delman. "Data-Driven Culture: Implementasi Dan Dampaknya Bagi Organisasi." https://delman.io/blog/data-driven-culture

  4. GajiGesa. "Pentingnya Data Driven Decision Making dalam Proses Evaluasi Kinerja Karyawan." https://gajigesa.com/data-driven-decision-making/

  5. BADR. "Apa Pentingnya Data-Driven Decision Making untuk Bisnis di 2025?" https://badr.co.id/id/big-data/apa-pentingnya-data-driven-decision-making-untuk-bisnis-di-2025/

  6. MentorPowerBI. "Membangun Data Driven Culture - Training Power BI." https://mentorpowerbi.com/2022/03/17/manfaat-praktis-power-bi-2/

  7. Veda Praxis. "Data Berlimpah, Budaya Data Siap?" https://vedapraxis.com/document/ebook/data-berlimpah-budaya-data-siap-1719282004.pdf

  8. Google Cloud. "Membangun Budaya Berbasis Data." https://cloud.google.com/resources/building-a-data-driven-culture?hl=id

  9. Training GRC. "Data-Driven Culture: Membangun Budaya Kerja Berbasis Insight dan Analytics." https://training-grc.com/data-driven-culture-membangun-budaya-kerja-berbasis-insight-dan-analytics/

  10. AIVIA. "7 Langkah Membangun Budaya Data yang Kuat di Bisnis Anda." https://www.aivia.me/budaya-data/

  11. Privy. "11 Manfaat Transformasi Digital Untuk Bisnis dan Organisasi." https://privy.id/blog/manfaat-transformasi-digital/

  12. Berijalan. "Bangun Budaya Data-Driven Lewat Laporan Analitik yang Efektif." https://berijalan.co.id/article-detail/bangun-budaya-data-driven-lewat-laporan-analitik-yang-efektif-berijalan

  13. Binus Online. "Digital Culture dan Digital Transformation: Kunci Adaptasi di Era Teknologi." https://online.binus.ac.id/2025/02/20/digital-culture-dan-digital-transformation-kunci-adaptasi-di-era-teknologi/

  14. Nexon. "Enabling a Data Driven Culture: Strategies to Overcoming Organisational Resistance." https://nexon.com.au/blog/enabling-a-data-driven-culture-strategies-to-overcoming-organisational-resistance/

  15. Wimmer Solutions. "Unleashing the Full Potential of Modern Data Initiatives." https://www.wimmersolutions.com/blog/posts/overcoming-cultural-challenges-unleashing-the-full-potential-of-modern-data-initiatives

  16. Secoda. "Measuring the Impact of Data Culture on Organizational Performance." https://www.secoda.co/blog/measuring-the-impact-of-data-culture

  17. Happily. "A Data-Driven Approach to Measuring Organizational Culture." https://happily.ai/blog/a-data-driven-approach-to-measuring-organizational-culture/

  18. LinkedIn. "Measuring Culture ROI: Beyond Traditional HR Metrics." https://www.linkedin.com/pulse/measuring-culture-roi-beyond-traditional-hr-metrics-anthony-calleo-g3jse

  19. LifeSkills. "Strategi Jitu Perusahaan Meningkatkan Daya Saing di Era Digital." https://lifeskills.id/blog/training-data-literacy-di-yogyakarta-strategi-jitu-perusahaan-meningkatkan-daya-saing-di-era-digital

  20. Berijalan. "Strategi Efektif untuk Meningkatkan Literasi Digital Karyawan." https://berijalan.co.id/article-detail/strategi-efektif-untuk-meningkatkan-literasi-digital-karyawan-dalam-era-digitalisasi-perusahaan

  21. IBM. "Menumbuhkan budaya literasi data." https://www.ibm.com/id-id/resources/the-data-differentiator/data-literacy

  22. Rakamin. "Improve Skill Data Literacy untuk Menjadi Profesional Data Handal." https://blog.rakamin.com/improve-skill-data-literacy-untuk-menjadi-profesional-data-handal/

  23. Data Decoded MCR. "The Top Data Trends Shaping 2025." https://datadecoded.com/mcr/news/the-top-data-trends-shaping-2025/

  24. LinkedIn. "The Top 5 Future Trends in Data Analytics (2025 Edition)." https://www.linkedin.com/pulse/top-5-future-trends-data-analytics-2025-edition-corrales-castillo-ish6e

  25. Panorama Consulting. "Cultural Barriers To Digital Transformation & How To Overcome Them." https://www.panorama-consulting.com/cultural-barriers-to-digital-transformation-and-how-to-overcome-them/

  26. Monte Carlo Data. "9 Trends Shaping The Future Of Data Management In 2025." https://www.montecarlodata.com/blog-data-management-trends

  27. Journal Analysis. "Penerapan Teknologi Manajemen Informasi di Netflix." https://jurnalamanah.com/index.php/amanahmengabdi/article/download/172/77/447

  28. Scimadly Publishing. "A Case Study of Netflix and Spotify." https://journal.scimadly.com/index.php/jpmb/article/view/116

  29. Kompasiana. "Data-Driven Excellence: Membangun Budaya Organisasi Berbasis Sistem Informasi." https://www.kompasiana.com/ekamira/655f1024ee794a701956cb93/data-driven-excellence-membangun-budaya-organisasi-berbasis-sistem-informasi

  30. Journal Ilmu Data. "Eksplorasi Kendala dan Solusi Pengembangan Skill Karyawan dalam Digitalisasi UMKM Surabaya." https://journal.ilmudata.co.id/index.php/RIGGS/article/view/2689